Penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskular) kini telah menjadi pembunuh utama di Indonesia, khususnya hipertensi, stroke dan penyakit jantung koroner. Menurut WHO, penyakit kardiovaskular merupakan 28% penyebab kematian di negara-negara Asia Pasifik, dimana penyakit ini banyak menyerang golongan usia produktif, terutama di negara berkembang, sehingga berpotensi mengurangi GDP (Gross Domestic Product) dan menambah angka kemiskinan.
Salah satu kendala yang terjadi di dalam menangani kasus kematian karena Penyakit Tidak Menular ini adalah kurangnya profesi Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) dan distribusi yang tidak merata sehingga belum dapat melayani rakyat Indonesia dengan maksimal.
Salah satu kendala yang terjadi di dalam menangani kasus kematian karena Penyakit Tidak Menular ini adalah kurangnya profesi Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) dan distribusi yang tidak merata sehingga belum dapat melayani rakyat Indonesia dengan maksimal.
Oleh karena itu Perkumpulan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) menargetkan penambahan jumlah spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah (SpJP) sebanyak 1000 SpJP pada tahun 2020 yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Agar target ini dapat dicapai, Kollegium Ilmu Jantung dan Pembuluh Darah telah meresmikan penambahan pusat pendidikan SpJP dari 2 menjadi 12. Pusat-pusat pendidikan ini bernaung dibawah Fakultas Kedokteran dan tersebar di berbagai wilayah tanah air, dengan menggunakan rumah sakit kelas A dan B milik pemerintah sebagai wahana pendidikan.
“Terobosan ini dilakukan untuk mendukung Kementerian Kesehatan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan kardiovaskular bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Anna Ulfah Rahajoe, MD,FIHA, FESC, FACC selaku Ketua Perkumpulan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Indonesian Heart Association) dalam pers conference ASMIHA ke 20, di Jakarta, 25 Maret 2011.
dr.Anna menambahkan, jumlah SpJp saat ini baru mencapai 493 orang, sepertiganya bekerja di wilayah Jabodetabek. Selain jumlahnya yang sangat minim untuk melayani rakyat Indonesia sebanyak 240 juta, juga distribusinya tidak merata. Seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur, saat ini hanya ada satu SpJP untuk melayani 8 juta penduduk. Sementara Laos, yang berpenduduk hanya 6 juta dilayani oleh 60 cardiologist. Terlebih-lebih Singapura, penduduknya hanya 5 juta dilayani 160 cardiologist. Sehingga mereka punya cukup waktu untuk berkomunikasi dengan pasien-pasiennya. Inilah yang membuat pasien-pasien kita yang mampu, akhirnya berobat kesana.
Selain masih kurangnya SpJP, saat ini juga baru terdapat 15 PJT (Pusat Jantung Terpadu) yang merupakan tempat bekerjanya para ahli di bidang pelayanan kardiovaskular dari berbagai profesi.
“Idealnya seluruh ibukota provinsi yang berjumlah 33 memiliki minimal satu PJT. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu ke Jakarta atau provinsi lain hanya untuk pemeriksaan kardiovaskular sederhana”, ujar dr. Anna.
Annual Scientific Meeting Indonesian Heart Association (ASMIHA) merupakan gelar ilmiah tahunan PERKI. ASHIMA ke-20 dihadiri para tokoh cardiology regional Asia Pasifik, Australia, Eropa dan Amerika. Dalam pertemuan juga diselenggarakan Scientific Meeting of ASEAN Pediatric Cardiac Forum.
Kegiatan ini bertujuan untuk mengupdate pengetahuan para anggota PERKI dan juga meningkatkan pengetahuan para dokter umum yang merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan di masyarakat.
dr. Anna menambahkan, anggota Perhimpunan Kardiologi Anak Indonesia berjumlah 35 orang ahli jantung anak dan 6 dokter ahli bedah jantung anak. Padahal, setiap tahun lahir 40.000 bayi dengan Penyakit Jantung Bawaan (PJB). Minimnya ahli jantung anak dan ahli bedah jantung anak menyebabkan banyak bayi dengan PJB yang tidak terdeteksi dan meninggal. Hal ini berkontribusi terhadap tingginya angka kematian bayi di Indonesia, yaitu 34 per 1.000 kelahiran hidup.
“Tetapi kurangnya ahli di bidang pelayanan jantung anak menjadi masalah bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan ASEAN. Ditambah lagi dengan penyakit jantung reumatik yang banyak menimpa anak-anak dengan sosial ekonomi rendah”, jelas Anna.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, 5223002 Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id, info@depkes.go.id, kontak@depkes.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar